TIMELINESINEWS | BANDA ACEH
Penyidik Satreskrim Polresta Banda Aceh menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Zikir Nurul Arafah Islamic Center di Gampong Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh.
Dia adalah “SH” selaku mantan Kasi Pemerintahan Gampong Ulee Lheue yang menjabat pada tahun 2016 hingga 2021 lalu.
“SH” ditetapkan sebagai tersangka dalam proyek pengadaan yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dinas PUPR Kota Banda Aceh tahun anggaran 2018 dan 2019.
Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli, SIK melalui Kasat Reskrim, Kompol Fadhillah Aditya Pratama mengatakan, penetapan “SH” sebagai tersangka dilakukan penyidik usai gelar pekara Pada selasa (20/6/2023) kemarin, Dari hasil gelar perkara dan alat bukti yang cukup, kami dapat menetapkan beberapa tersangka, salah satunya “SH,” kata Kasat Reskrim.
“Ke depan, akan kami lengkapi bukti-bukti lain untuk keterlibatan tersangka lainnya. Untuk tersangka “SH” sekarang belum ditahan,” lanjut Fadillah, Rabu (21/6/2023).
Saat gelar perkara, pihaknya juga ditemukan beberapa fakta adanya dugaan korupsi dalam pengadaan lahan zikir dengan nilai total pagu anggaran sebesar Rp 5,1 miliar lebih (tahun 2018 senilai Rp 3,2 miliar lebih, dan tahun 2019 senilai Rp1,8 miliar lebih).
Pada tahun 2018, lahan itu telah diukur pihak BPN Kota Banda Aceh sesuai pengukuran bidang rincikan yang dikeluarkan pada bulan Mei 2018.
Pihak Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) juga menilai harga setiap tanah yang hasilnya dikeluarkan pada Agustus 2018.
“Setelah adanya hasil pengukuran dan penilaian harga dari 14 persil tanah yang ada, pihak Dinas PUPR Kota Banda Aceh telah membayar sembilan persil tanah dengan total Rp 4 miliar lebih (lima persil tahun 2018 dibayar sebesar Rp 3,1 miliar lebih, dan empat persil tahun 2019 dibayar Rp799 juta lebih),” ungkapnya.
Sembilan persil tanah itu terindikasi penyimpangan, di mana tiga persil di antaranya yakni tanah Pasar Batu Cincin, tanah gampong, dan tanah salah satu warga.
Dua tanah di antaranya menggunakan alas hak berupa Surat Keterangan Tanah Milik Gampong (SKT) dan satu lainnya mengunakan alas hak sporadik.
Ia mengatakan, saat proses pembayaran tanah, pihak keuchik tidak melampirkan rekening kas gampong, melainkan rekening pribadi.
Pihak dinas pun tidak memverifikasi secara mendetail sehingga dana pembebasan lahan itu masuk ke rekening pribadi, padahal sesuai aturan harusnya masuk ke kas gampong.
Dari hasil audit pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh, lanjutnya, diketahui bahwa terdapat kerugian negara sebesar Rp 1 miliar lebih.
“Kami akan lengkapi bukti lainnya yang berkaitan dengan tersangka lain, termasuk memeriksa tersangka dan melengkapi berkas perkaranya,” beber dia.
“Untuk tersangka dikenakan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo Pasal 8 Jo Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tukas Kasat Reskrim. (Denny)