TLII>>Banda Aceh – Dalam rangka Kampanye Hari Perempuan Sedunia 2025, perwakilan perempuan dan orang muda dari berbagai organisasi berkumpul untuk mendiskusikan isu, aksi, dan kontribusi perempuan dalam acara Sharing Stories: Women Action Declaration pada 11 Februari 2024.
Ketua Komite Kesetaraan Nasional (K2N), Dian Yudianingsih, dalam sambutannya menegaskan bahwa perayaan Hari Perempuan Internasional merupakan kesempatan penting untuk meningkatkan kesadaran kritis dan mendorong keberanian perempuan dalam bersuara serta bertindak di berbagai aspek kehidupan. Ia menekankan bahwa aksi perempuan adalah kekuatan perubahan yang tidak bisa diabaikan.
“Secara kolektif, gerakan perempuan terus memperjuangkan lahirnya kebijakan yang mendukung perlindungan perempuan dari kekerasan, serta memastikan suara mereka diperhitungkan dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat nasional,” ujar Dian.
Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh, juga menyoroti peran strategis perempuan sebagai motor penggerak perubahan. Ia menekankan bahwa tantangan seperti kesenjangan upah, diskriminasi, dan kekerasan berbasis gender masih menjadi realitas yang harus dihadapi bersama.
“Melalui aksi, kampanye, dan dialog, mari kita perkuat tekad untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif, di mana setiap perempuan merasa dihargai, didengar, dan memiliki hak yang sama untuk meraih mimpi serta berkontribusi bagi kemajuan Aceh,” serunya.
Sementara itu, Nashihul Umam, Founder Teduh Community, menekankan pentingnya komunikasi yang saling menghargai antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Ia menegaskan bahwa ketahanan keluarga adalah fondasi utama untuk perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak, serta menyoroti peran pemerintah dalam mendukungnya melalui kebijakan, anggaran, dan program.
Dalam sesi diskusi, Gebrina Rezeki, Kepala Sekolah HAM Perempuan, menyoroti bahwa ruang keterlibatan orang muda mulai terbuka, namun belum diikuti dengan partisipasi yang bermakna. Ia menekankan bahwa generasi muda harus merebut ruang partisipasi publik demi masa depan bangsa.
“Jika kita tidak diberi ruang, bagaimana kita akan belajar? Kesalahan itu wajar dan menjadi bagian dari pembelajaran. Jika ruang partisipasi tidak ada, kita harus merebutnya. Jika ada, kita harus menggunakannya dengan sebaik mungkin untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhan kelompok muda dalam membangun bangsa,” tegas Gebrina.
Senada dengan hal itu, Rika Yusrina, anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) 2023, berbagi pengalamannya dalam merebut ruang partisipasi. Ia mengungkapkan bahwa banyak korban kekerasan yang tidak berani bersuara, sehingga keikutsertaannya dalam Satgas PPKS menjadi langkah penting.
“Sebagai orang muda, saya sadar bahwa ini adalah ruang yang harus saya ambil. Pencegahan pelecehan harus dimulai dari hal kecil, seperti tidak mentoleransi candaan yang mengarah pada pelecehan fisik,” ujarnya.
Bayu Satria, Founder YouthID, menekankan pentingnya partisipasi bermakna orang muda dan kelompok marjinal dalam pembangunan masyarakat. Menurutnya, partisipasi aktif pemuda, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal dapat menghadirkan perspektif baru serta inovatif dalam menciptakan solusi berkelanjutan.
“Dengan memberikan ruang bagi suara mereka, kita dapat mendorong inklusivitas dan keadilan sosial dalam berbagai aspek kehidupan di Aceh,” ungkapnya.
Haifa Ghalda, Ketua PII Korps Wati Aceh, menyoroti pentingnya kolaborasi antarperempuan untuk menciptakan perubahan nyata, terutama dalam bidang pendidikan.
“Pendidikan adalah pondasi utama untuk tumbuh, berkembang, dan menciptakan perubahan yang lebih ideal ke depannya,” jelasnya.
Acara ini merupakan hasil kolaborasi berbagai organisasi, termasuk Flower Aceh, K2N KSBSI, Balai Syura, Teduh Community, YouthID, Gerak Aceh, Sekolah Hak Asasi Perempuan, FKPAR Aceh, PII Wati, serta Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (USK). Diskusi ini menjadi momentum penting dalam memperkuat peran perempuan dan kaum muda dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.