Penulis :
Beben Suhartono (Pengamat Lingkungan dan Ekonomi)
TLii – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah gencar mendorong peningkatan dan pertumbuhan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sebagai bagian dari upaya diversifikasi sumber daya hutan di Indonesia. HHBK, yang mencakup hasil hutan hayati baik dari tumbuhan maupun hewan serta produk turunannya, kini dipandang sebagai salah satu kunci masa depan sektor kehutanan Indonesia.
Sejak era kejayaan kayu mulai memudar setelah tahun 2000, sektor kehutanan menghadapi tantangan besar dalam mencari alternatif yang dapat menggantikan peran kayu sebagai komoditas utama. Menurut Vandemecum Kehutanan 2020, HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunannya dan budi daya. mencakup berbagai produk seperti getah, biji-bijian, daun, akar, madu, rotan, bambu, dan banyak lagi. Pemanenan HHBK tergantung pada jenisnya. Penentu nilai produktivitas dan kualitas produk HHBK ada di tahap pemanenan. Penentu pemanenan mencakup cara, alat, dan ketrampilan para pemanen. Meski kontribusi HHBK terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih belum sebesar kayu, potensi yang dimiliki sangatlah besar.
Meski tidak sebombastis hasil hutan kayu dari hutan alam Indonesia yang pernah berjaya di era Orde Baru, kontribusi HHBK terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lumayan. Data terbaru menunjukkan bahwa potensi HHBK di Indonesia mencapai 66 juta ton, namun pada tahun 2020, produksinya baru mencapai 558 ribu ton dengan nilai PNBP Rp 4,2 miliar. Tiga kelompok jenis HHBK di Indonesia dengan produksi tertinggi adalah kelompok getah (126 ribu ton), biji-bijian (114 ribu ton), dan daun/akar (63 ribu ton). Beberapa komoditas HHBK yang potensial dikembangkan antara lain daun kayu putih, kopi, madu, getah pinus, getah karet, bambu, jagung, serei wangi, rumput gajah, gula aren, gamal, rotan, aren, cengkeh, damar, gaharu, getah, kulit kayu, kemenyan, kemiri, kenari, sagu, dan lain sebagainya menjadi produk HHBK yang berpotensi besar untuk dikembangkan.
Namun, pengembangan HHBK menghadapi beberapa kendala faktor penghambat mengapa HHBK belum berkembang.
Pertama, kebijakan kehutanan Indonesia sejak era Orde Baru cenderung fokus pada hasil hutan kayu. Baru setelah terbitnya UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, perhatian terhadap HHBK mulai meningkat. selama ini pemerintah yang berwenang dan otoritas pengurusan kawasan hutan di Indonesia fokus mengurusi hasil hutan kayu saja. Sejak UU 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan hingga tahun 1998 secara tersirat tidak satu kalimat pun yang menyebut HHBK. Baru setelah UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan menyebut HHBK di pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan pasal 27, 28 dan 29 dan diperjelas dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Kedua, banyaknya jenis komoditas HHBK menyebabkan sulitnya menetapkan skala prioritas dalam pengembangannya. banyaknya jumlah komoditas HHBK yang akan dikembangkan dari hasil pemanenan (penyadapan, pemangkasan, pengutipan, pemetikan, penebangan dan pengupasan kulit) menyebabkan tidak ada skala prioritas pengembangan komoditas HHBK yang akan dikembangkan.
Komoditas HHBK yang selama ini dihasilkan bukan berasal dari pembudidayaan atau pengembangkan secara modern, tapi lebih banyak secara alami. Padahal peluang untuk mengembangkan melalui pembudidayaan cukup memadai. Contoh komoditas HHBK rotan yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi di Kalimantan Tengah, potensinya sangat melimpah sehingga bisa dibudidayakan di hutan yang kurang produktif.
Ketiga, mayoritas HHBK dihasilkan secara alami tanpa melalui pembudidayaan modern, padahal peluang untuk budi daya cukup besar. izin usaha pemanfaatan HHBK pada hutan produksi kurang ekonomis karena pemegang izin diwajibkan untuk menanam, memelihara, memanen, mengolah dan memasarkannya. Para pelaku usaha lebih suka memegang izin pemungutan HHBK yang lebih ekonomis dan keuntungan jangka pendek. Namun, Dengan terbitnya PP Nomor 23/2021, pelaku usaha dapat memanfaatkan izin usaha pemanfaatan HHBK untuk komoditas pengembangan bahan baku bahan bakar nabati (bioenergi) yang prospek ekonomi lebih menguntungkan karena pangsa pasar lebih jelas.
Keempat, terkait dengan multiusaha kehutanan, pada komoditas tertentu izin usaha pemanfaatan HHBK bisa dipadukan dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu budi daya tanaman dengan pengaturan jarak tanam atau sistem agroforestri.
Kelima, Pemerintah diharapkan tidak hanya mendorong peningkatan produksi HHBK, tetapi juga memelopori transformasi komoditas HHBK menjadi bisnis utama dalam sektor kehutanan, menggantikan dominasi kayu yang telah mulai surut dan memudar. Komoditas seperti karbon, air, dan udara bahkan memiliki potensi besar dalam konteks ekoturisme, sejalan dengan upaya global untuk mengurangi emisi karbon.
Dengan potensi besar yang dimiliki, HHBK dapat menjadi tulang punggung baru bagi sektor kehutanan Indonesia, asalkan didukung dengan kebijakan yang tepat dan inovasi dalam pembudidayaan serta pemanfaatan sumber daya hutan.
Air, udara, bahkan kini karbon menjadi komoditas hasil hutan kayu yang sangat prospektif. Sebagai hutan tropis yang segala tumbuh, hutan Indonesia menyerap karbon melimpah. Jika harga karbon US$ 10 ton saja, nilai ekonomi karbon Indonesia sangat tinggi. Air dan udara bisa menjadi komoditas ekoturisme yang menambah potensi besar HHBK Indonesia.