Oleh Stenlly Ladee
Suatu malam, saya dan sepupu mertua saya, Tama (sapaan om dalam bahasa Pamona) baru saja pulang dari Wotu setelah mengantar anaknya yang pertama untuk dirujuk ke rumah sakit Ligaligo. Perjalanan dari Sulawesi Selatan menuju Desa Pandayora, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, terasa melelahkan.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 malam dinihari, dan mata saya mulai berat karena ngantuk. Tulang belakang saya juga terasa sakit akibat menyetir selama berjam-jam.
Ketika kami mendekati perbatasan Sulsel-Sulteng, rasa lelah semakin mendesak kami untuk berhenti. Kami memutuskan singgah di sebuah warung makan yang tampak besar, berdinding papan, dengan halaman parkir yang luas dan terang. Dari kejauhan, warung itu terlihat sederhana tetapi nyaman, cocok untuk sekadar beristirahat dan menyeruput kopi.
Ketika turun dari mobil, kami langsung disambut oleh seorang wanita. Rambutnya pirang, mungkin karena dicat, dan kulitnya sawo matang. Usianya kira-kira 40-an tahun. Di teras warung, ada pajangan kaligrafi Arab yang membuat saya spontan mengucapkan salam. “Assalamualaikum,” sapa saya. Wanita itu membalas salam dengan ramah, sambil duduk santai merokok.
Awalnya, saya sama sekali tidak menduga siapa dia sebenarnya. Bagi saya, penampilannya jauh dari bayangan stereotip seorang pekerja seks komersial (PSK). Namun, semuanya berubah saat Tama pergi ke toilet, meninggalkan saya berdua dengan wanita tersebut.
“Marimi tidur-tidur di kamarku saya pijat belakang ta, Pak,” katanya dengan logat selatan yang khas. “Kalau dengan saya pijatnya gratis, tapi kalau mau yang lain, tenang saja, bisa kita bicarakan. Tidak mahal ji, Pak.”
Saya terdiam, setengah terkejut. Jujur, baru kali ini saya singgah di sebuah warung dan ditawari “serabi lempit”—istilah yang saya gunakan untuk hal semacam ini. Sambil berusaha menenangkan diri, saya menjawab seadanya, “Biarmi, Bunda, saya kalo capek begini minum kopi saja sudah cukup, sudah enakan rasanya.”
Wanita itu tersenyum tipis, tampak paham dengan penolakan saya. Namun, percakapan kami tidak berhenti di situ. Saat Tama kembali, kami bertiga berbicara tentang banyak hal. Wanita itu bercerita panjang lebar tentang kehidupannya, tamu-tamunya, bahkan pengalamannya melayani seorang “bos” yang menjadi langganannya.
Ada nada bangga dalam ceritanya, meski saya bisa merasakan beban yang tersimpan di balik tawanya.
“Saya ini cuma mau hidup, Pak,” katanya sambil menyalakan rokok lagi. “Anak-anak saya ada di Makassar, sekolah semua. Saya kerja begini supaya mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini.”
Kalimat itu mengiris hati saya. Seorang ibu, di usia yang tak lagi muda, terpaksa menjajakan dirinya demi menyekolahkan anak-anaknya. Di balik sikapnya yang ramah dan terbuka, ada kehidupan yang kelam dan penuh perjuangan.
Saat makanan dan kopi kami habis, kami berpamitan. Sebelum pergi, saya memberikan uang tip, bukan untuk jasanya sebagai PSK, tetapi sebagai bentuk empati. Saya tahu itu tidak akan mengubah banyak hal, tetapi setidaknya saya ingin menunjukkan bahwa saya peduli. Dia tersenyum kecil, mungkin tidak banyak orang yang memberinya perhatian seperti itu.
Saat di dalam mobil, Tama, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. “Kasian juga itu ibu tadi, ya. Kayaknya dia sudah lama kerja begitu. Lihat tangannya tadi, kasar sekali… Pasti bukan cuma melayani tamu, mungkin dia juga kerja keras di warung itu.”
Saya hanya mengangguk pelan. Dalam hati, saya merasakan kegetiran yang sama. Kehidupan di perbatasan ini, jauh dari gemerlap kota, seringkali memaksa orang untuk memilih jalan yang mungkin tak pernah mereka inginkan sejak awal.
Tiba-tiba, saya teringat kembali sesuatu yang ibu itu katakan di sela obrolan kami. “Saya ini cuma mau hidup, Pak. Anak-anak saya ada di Makassar, sekolah semua. Saya kerja begini supaya mereka tidak sampai tahu apa yang saya lakukan di sini.” Kalimat itu mengiris hati saya. Di balik tawanya yang lepas, ada beban yang berat ia tanggung seorang diri.
Saat itu, saya hanya bisa memberikan uang tip yang tidak seberapa. Tapi di dalam hati, saya tahu itu bukan solusi untuk masalahnya. Dia butuh lebih dari sekadar uang—ia butuh kesempatan kedua, seperti kita semua yang pernah terjatuh dan bangkit kembali.
Ketika kami sampai di Desa Pandayora, malam sudah larut. Namun, pikiran saya terusik oleh wajah perempuan itu, senyumnya, dan cara ia berbicara tentang tamu-tamunya dengan nada bercanda, seolah ingin menutupi rasa malu atau putus asa. Saya bertanya-tanya, apakah hidup akan memberinya jalan keluar? Atau, apakah ia akan terus terjebak di perbatasan ini, melayani para pelintas malam sambil menahan rasa sakitnya sendiri?
Dalam perjalanan pulang, saya merenung.
Hidup sering kali memaksa kita memilih jalan yang tak pernah kita inginkan. Namun, di balik setiap pilihan sulit, selalu ada harapan untuk berubah dan bangkit kembali. Semoga wanita itu benar-benar menemukan kebahagiaannya di tempat yang lebih baik.