Foto ilustrasi epsikologi.com
TIMELINES,INEWS
By: Heni Simba
Binar selalu merasa ada panggilan batin untuk memahami jiwa manusia. Mimpinya untuk menjadi seorang psikolog sudah tertanam sejak kecil. Alasan mengapa ia ingin menjadi psikolog karena ia tahu tidak didengar itu sangat menyakitkan, semenjak itu, ia akan berusaha menjadi pendengar yang baik.
Namun, jalan menuju impiannya itu tidak selalu mulus seperti yang ia bayangkan. Tidak ada yang mendukung impian Binar waktu itu. Orang tuanya tidak menyetujui untuk ia mengambil kuliah jurusan psikologi dan menyarankan yang lain saja. Seringkali ia dianggap aneh oleh teman-temannya. Ia mendapatkan berbagai macam bentuk ejekan.
“Psikolog? Kerjaan macam apa itu? Itu mah, kerjaan orang gila! Hahaha,” ejek salah satu teman sekelasnya.
Meski begitu, Binar tidak akan menyerah. Ia terus menerus memantapkan hatinya dengan menghiraukan kata-kata mereka. Ia juga setiap hari meyakinkan kedua orang tuanya agar mendapatkan restu untuk berkuliah psikologi. Tak hanya itu saja usahanya, ia terus membaca buku-buku tentang psikologi, mengikuti seminar dan bahkan sebuah lembaga sosial. Ia berinteraksi dan memahami berbagai macam orang yang memiliki trauma.
Melihat kegigihan Binar, kedua orang tuanya akhirnya mengizinkan ia untuk berkuliah psikologi. Ayah dan ibunya juga memberikan dukungan serta motivasi kepadanya.
Setelah lulus SMA, Binar berhasil diterima di jurusan psikologi di Universitas Indonesia. Ia sangat bersemangat menjalani masa perkuliahannya, tetapi itu tak berlangsung lama, ia mulai merasa kesulitan. Materi kuliah yang semakin kompleks dan banyak tugas menumpuk membuatnya kewalahan. Ia sekarang jadi sering mengeluh dan terkadang juga ingin menyerah.
“Ya Allah, aku capek, kapan ini selesainya ya? Apa memang aku ngga pantes jadi psikolog?” gumamnya dalam hati. “Apa aku berhenti aja, ya?”
Di tengah kegelisahannya, tiba-tiba ponsel milik Binar berdering. Ternyata ibunya yang menelepon.
Ibunya menanyakan kabar Binar dan bagaimana kuliahnya. Ia pun menceritakan semua kegelisahannya pada ibunya. Ibunya pun menasehati dan memberikan support beserta motivasi kepada Binar.
“Kamu jangan nyerah, ya, Nak, semua orang pasti pernah mengalami kesulitan. Ingat dulu kamu mau jadi psikolog itu karena apa? Lihat juga perjuangan kamu dulu hingga sampai detik ini. Jangan buat semua ini jadi sia-sia, ya,” nasehat Ibu diseberang telepon sana. “Yang penting sekarang gimana kamu bangkit dan terus berusaha.”
Akhirnya Binar tersadar, ia mengingat kembali mengapa ia ingin menjadi seorang psikolog. Ia ingin membantu orang lain mengatasi masalah mereka dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Dengan semangat baru, Binar kembali fokus pada studinya.
Setelah sekian purnama, akhirnya Binar lulus kuliah, gelar S.Psi. pun tersemat di namanya “Ellara Binaraini, S.Psi” dengan bangga dan terharu ia dan kedua orang tuanya sekarang, ia tak menyangka bisa menyelesaikan kuliah setelah melewati berbagai macam rintangan.
Binar sekarang bekerja di sebuah klinik psikologi miliknya sendiri. Ia merasa sangat bersyukur bisa mewujudkan impiannya. Ini semua berkat usaha dan kegigihannya selama ini. Tak lupa juga ia berterima kasih kepada ayah dan ibunya, berkat mereka Binar bisa sampai di titik ini.
Setiap hari, Binar berinteraksi dengan pasien-pasiennya dari berbagai macam latar belakang, mendengarkan curhatan mereka, dan berusaha memberikan solusi atas masalah yang mereka hadapi.
Binar menyadari bahwa seorang psikolog tidak hanya tentang memberikan solusi, tetapi juga tentang memberikan harapan. Ia ingin agar setiap pasiennya merasa didengarkan dan dihargai.
Simpang Rimba, 9 Oktober 2024