Proses proses penjemuran oleh warga penggelut usaha ikan asin di gampong pusong (Foto ; Istimewa)
TIMELINES INEWS | LANGSA
Kota Langsa – Matahari baru meninggi, tapi panasnya sudah cukup membakar kulit. Di Gampong Pusong, Kecamatan Langsa Barat, aroma ikan rebus bercampur asap kayu bakar menyeruak ke udara, menusuk indra penciuman siapa saja yang datang.
Pulau kecil ini terpisah dari Kota Langsa. Untuk mencapainya, harus menumpang kapal nelayan atau kapal trip yang bergoyang mengikuti gelombang.
Setibanya di sana, pemandangan khas menyambut: deretan jaring besar dipenuhi ikan yang dijemur, pekerja yang mondar-mandir mengangkat ember, dan tungku-tungku besar yang terus menyala.
Di tengah kesibukan itu, seorang gadis belia tampak tak segan turun tangan. Nyak Puan Islami, atau akrab disapa Inyak, mengangkat ikan dari dandang besar dengan wajah lelah.
Nyak Puan Islami foto bersama Pengusaha Ikan Asin, Mustafa ( Suami dari Murni).
“Kerja di sini bukan soal kuat atau tidak, tapi harus tahan banting. Dari pagi, sampai pagi lagi,” katanya, sembari menyeka peluh di dahinya.
Pekerjaan ini bukan sekadar rutinitas bagi warga Pusong, tapi soal bertahan hidup. Mustafa (52) dan istrinya, Munri (50), telah puluhan tahun menjalankan usaha ikan asin di sini.
Mereka bukan hanya menggantungkan nasib pada bisnis ini, tetapi juga memberi lapangan pekerjaan bagi ibu-ibu rumah tangga yang suaminya pergi melaut.
Tapi di balik usaha mereka, ada satu hal yang mengusik hati Inyak. Bukan Mustafa atau Munri yang mengatur pemasukan dan pengeluaran usaha, melainkan anak mereka, Musyaira (17).
“Ayah sama ibu nggak sekolah, jadi saya yang pegang uang,” kata Syaira, sambil sibuk mencatat angka di buku kas lusuhnya.
Di sudut pondok kayu, Syaira duduk membolak-balik catatan keuangan. Ia masih remaja, tapi sudah menanggung beban besar.
“Kalau nggak ada pencatatan, kami bisa rugi. Pernah dulu, uang habis begitu saja karena nggak dihitung baik-baik,” tuturnya.
Sementara Mustafa terus menumpuk kayu bakar ke dalam tungku, Munri mengaduk ikan dalam perebusan. Wajahnya terlihat lelah, tapi tangannya tetap cekatan.
“Harga garam naik terus, ikan juga nggak selalu ada. Kadang sudah susah payah kerja, untungnya cuma cukup buat makan,” keluhnya.
Di tengah keringat dan bau asin yang pekat, satu pertanyaan menggantung di benak: sampai kapan mereka harus bertahan sendiri?
Usaha yang diwariskan turun-temurun ini perlahan tergerus.
Tak ada modal tambahan, tak ada bantuan peralatan, bahkan infrastruktur pun minim. Jika hujan turun, jalanan berubah menjadi kubangan, memperlambat pengeringan ikan dan mengancam kualitas hasil produksi.
Inyak hanya bisa menghela napas. “Mereka butuh lebih dari sekadar janji. Kalau pemerintah peduli, harus ada akses modal, dukungan infrastruktur, dan pasar yang jelas. Kalau tidak, tradisi ini akan mati perlahan,” katanya.
Pusong bukan sekadar penghasil ikan asin. Ia adalah wajah ketahanan dan kerja keras yang berlumur keringat dan garam.
Namun, jika tak ada tangan yang membantu, kelak yang tersisa dari pulau ini hanyalah cerita tentang tempat yang pernah memberi rasa asin terbaik bagi dunia.