TLii | SUMUT | Medan, Pelaksanaan bimbingan teknis (Bimtek) yang melibatkan desa-desa se-Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, kini tengah menjadi sorotan publik. Kegiatan yang berlangsung di dua hotel mewah di Kota Medan—Hotel Danau Toba dan Hotel Gryatur—diduga kuat menjadi sarana korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Bimtek di Bawah Bayang-Bayang Kecurangan
Berdasarkan informasi yang diterima, kegiatan ini diselenggarakan oleh Lembaga Management Indonesia (LEMINDO) yang berbasis di Bandung. Nama Yoyon tercantum sebagai penanggung jawab dalam undangan resmi yang beredar, namun saat dihubungi oleh tim media, tidak ada tanggapan yang diberikan. Kegiatan serupa yang diadakan oleh lembaga ini di Kabupaten Deli Serdang sebelumnya juga menuai banyak kritikan, terutama karena dugaan tidak adanya bukti potong PPh 21 yang diberikan kepada desa-desa peserta.
Keterlibatan Dinas PMD dan Apdesi
Tonny Malau, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Dairi, saat dikonfirmasi oleh media, menyatakan bahwa kegiatan Bimtek ini merupakan inisiatif Apdesi Kabupaten Dairi. “Dinas PMD tidak boleh melakukan intervensi penggunaan dana desa. Kepala desa dan perangkat desa boleh mengikuti peningkatan kapasitas melalui Bimtek, kalau bersumber dari dana desa tidak boleh, tapi kalau dari Alokasi Dana Desa (ADD) boleh,” ujar Tonny dalam pesan singkatnya. Dia juga menyarankan agar media mengonfirmasi langsung kepada Ketua Apdesi Kabupaten Dairi, Jonnes Pandiangan. Namun, hingga berita ini ditayangkan, Jonnes memilih bungkam, meski pesan WhatsApp yang dikirimkan kepadanya terlihat telah dibaca.
Kritik Tajam dari LSM PAKAR
Ketua LSM PAKAR Dairi, Tito Sinaga, secara tegas mengkritik pelaksanaan Bimtek ini. “Sebagai lembaga sosial kontrol, sangat kita sayangkan dana sebesar itu hanya dihabiskan untuk kegiatan yang tidak jelas. Untuk apa jauh-jauh ke Medan, sementara hotel di sini juga banyak?” ujarnya. Tito juga menyoroti dugaan bahwa anggaran Dana Desa yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, malah disalahgunakan melalui praktik korupsi berjamaah. “Bimtek ini menghabiskan puluhan juta dari setiap desa. Jika setiap peserta membayar Rp 5 juta dan dikalikan dengan 161 desa, maka miliaran rupiah bisa disedot dari Kabupaten Dairi,” tambah Tito dengan nada kesal.
Desakan untuk Penyelidikan Aparat Penegak Hukum
Tito mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) segera memanggil dan memeriksa legalitas lembaga pelaksana serta pihak Apdesi Kabupaten Dairi. “Apakah lembaga ini benar terdaftar di Kemenkumham? Apakah pajak mereka dibayarkan dengan benar? Ini perlu diperjelas agar masyarakat Kabupaten Dairi tidak merasa ditipu oleh oknum yang menguras anggaran desa untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu,” tegasnya.
Potensi Kerugian Negara
Dugaan praktek korupsi ini jika benar terjadi, tidak hanya merugikan keuangan desa tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap aparatur desa dan instansi terkait. Modus operandi seperti ini kerap kali menggunakan kegiatan resmi sebagai kedok untuk mengalirkan dana secara ilegal ke kantong-kantong pribadi. Keterlibatan lembaga, aparatur desa, dan pejabat daerah dalam praktek semacam ini memperlihatkan betapa sistematis dan masifnya tindakan korupsi yang terjadi di akar rumput.
Kesimpulan
Kasus ini menjadi refleksi betapa rentannya anggaran desa terhadap penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Keterlibatan lembaga dan pejabat dalam kegiatan semacam ini harus diawasi dengan ketat oleh Aparat Penegak Hukum untuk memastikan bahwa dana desa benar-benar digunakan sesuai dengan peruntukannya, yaitu untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk memperkaya segelintir orang.
Masyarakat kini menunggu tindakan tegas dari APH dalam menyikapi kasus ini, agar keadilan dapat ditegakkan dan tidak ada lagi dana desa yang diselewengkan untuk kepentingan pribadi. (H²Mc)