TLii | KALSEL | KOTA BANJARMASIN, Banjarmasin kini menghadapi krisis sampah yang semakin parah. Penutupan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Basirih membuat kota ini bergantung sepenuhnya pada TPA Regional Banjarbakula di Banjarbaru. Namun, kapasitasnya hanya mampu menampung 105 ton per hari, sementara produksi sampah Banjarmasin mencapai 600 ton.
Tumpukan sampah di TPS 3R Jalan Cemara, Banjarmasin Utara, memakan badan jalan, Kamis (6/2) siang.
Akibatnya, tempat pembuangan sementara (TPS) di berbagai titik penuh sesak, bahkan meluber hingga ke badan jalan. Seperti yang terlihat di TPS 3R Jalan Cemara dan HKSN, Banjarmasin Utara—gunungan sampah menciptakan pemandangan yang mengganggu dan mengancam kesehatan warga.
Lebih buruknya lagi, mesin pencacah sampah di TPS tersebut sudah lama rusak, memaksa petugas memilah sampah secara manual. Kepala Bidang Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banjarmasin, Marzuki, mengakui keterbatasan ini dan berjanji akan mengusulkan anggaran pengadaan peralatan baru dalam APBD Perubahan mendatang.
Pemerintah Kota Banjarmasin pun telah menetapkan status tanggap darurat sampah sejak 1 Februari hingga 31 Juli 2025. Wali Kota Ibnu Sina meminta seluruh kelurahan untuk berperan aktif dengan menyediakan tempat pemilahan sampah, agar hanya residu yang benar-benar tidak bisa didaur ulang yang dikirim ke TPA Banjarbakula.
“Kalau tidak ada langkah konkret, penumpukan luar biasa akan terus terjadi,” tegas Ibnu Sina.
Namun, dengan minimnya lahan kering di Banjarmasin dan terbatasnya jam operasional pengangkutan sampah, solusi yang lebih cepat dan inovatif sangat dibutuhkan. Akankah upaya pemerintah mampu mengatasi darurat sampah ini? Ataukah warga Banjarmasin harus terus hidup dalam lautan sampah yang semakin menggunung?