Abdi Shalihin S.Pi., Mahasiswa Magister Hukum, atas nama tokoh pemuda Gayo Lues.
TLii | ACEH | GAYO LUES – Menanggapi pernyataan Drs. H. Buniyamin, mantan anggota Panitia Pemekaran Kabupaten Gayo Lues, yang mempertanyakan kapasitas Said Sani, bakal calon bupati Gayo Lues, dalam duduk di kursi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) pada acara peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2024, di Media Timelines Inews Investigasi (TLii), Senin (17/08/2024), salah satu tokoh pemuda di Kabupaten Gayo Lues, Abdi Shalihin S.Pi., Tokoh Pemuda Gayo Lues memberikan klarifikasi yang tegas.
baca berita : Buniyamin Pertanyakan Kapasitas Said Sani Bacabub Gayo Lues Duduk di Kursi Forkompimda Acara 17 Agustus
Dalam pernyataannya kepada media, Abdi Shalihin, yang juga merupakan mahasiswa Magister Hukum strata dua, menjelaskan bahwa tata tempat dalam acara resmi kenegaraan di tingkat kabupaten/kota sudah diatur dengan jelas dalam undang-undang, khususnya UU No 9 Tahun 2010 Pasal 11
“Menurut undang-undang tersebut, tata tempat dalam acara resmi di kabupaten/kota diatur secara resmi. Beberapa tokoh dan pejabat yang berhak menempati kursi di acara seperti ini antara lain bupati/walikota, wakil bupati/wakil walikota, mantan bupati/walikota, serta pemuka agama, adat, dan tokoh masyarakat tertentu di tingkat kabupaten/kota,” jelas Abdi.
Berikut adalah kutipan lengkap isi pasal 11 undang-undang 09 Tahun 2010 sebagai berikut
1. Menurut undang undang pasal 11 tahun undang-undang 09 Tahun 2010 di jelaskan tata tempat tempat di acara resmi di kabupaten \ Kota di tentukan secara resmi yakni :
a. bupati/walikota;
b. wakil bupati/wakil walikota;
c. mantan bupati/walikota dan mantan wakil bupati/wakil walikota;
d. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
e. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
f. sekretaris daerah, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan negeri dikabupaten/kota;
g. pemimpin partai politik di kabupaten/kota yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
h. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
i. pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat kabupaten/kota;
j. asisten sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan tingkat kabupaten/kota, kepala dinas tingkat kabupaten/kota, dan pejabat eselon II, kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di tingkat kabupaten, ketua komisi pemilihan umum kabupaten/kota;
k. kepala instansi vertikal tingkat kabupaten/kota, kepala unit pelaksana teknis instansi vertikal, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan di kecamatan, dan kepala kepolisian di kecamatan;
l. kepala bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon III; dan
m. lurah/kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan pejabat eselon IV.
2. Dalam hal penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat
(1) hadir dalam Acara Resmi di kabupaten/kota, para pejabat tersebut menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.
Abdi menambahkan bahwa dalam hal ini, Said Sani, sebagai mantan wakil bupati yang diundang oleh pemerintah daerah, sah dan berhak untuk duduk di kursi Forkompimda sesuai dengan aturan yang berlaku. “Undang-undang ini jelas memberikan hak kepada mantan pejabat yang diundang untuk turut serta dalam kegiatan protokoler pada acara kenegaraan seperti peringatan 17 Agustus,” tegasnya.
Lebih lanjut, Abdi juga merujuk pada Pasal 9 Huruf N yang menjelaskan bahwa pejabat setingkat menteri dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memiliki tata tempat khusus dalam acara kenegaraan yang diselenggarakan di Ibu Kota Republik Indonesia. Namun, hal ini berbeda dengan tata tempat pada acara resmi di tingkat kabupaten/kota.
“Menurut pasal 9 huruf N. Menjelaskan bahwa Menteri, menjabat setingkat menteri , anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia , dll melakukan acara Kenegaraan dan acara resmi berada di Ibu Kota Republik Indonesia ?
Jadi manakah yang sesuai dengan undang undang dan tidak sesuai dengan undang – undang berdasarkan tata tempat dalam acara kenegaraan dan acara resmi ?.”
“Kritik boleh saja, tetapi harus bijaksana dan berlandaskan aturan hukum. Jangan sampai karena kebencian atau keinginan untuk menjatuhkan seseorang, kita menghalalkan segala cara dan mengabaikan undang-undang yang berlaku,” ujar Abdi.
Ia juga menekankan bahwa kritikan yang tidak berlandaskan hukum hanya akan menimbulkan perpecahan dan tidak produktif bagi pembangunan daerah. “Kita harus sama-sama membangun daerah ini dengan cara yang positif, bukan dengan cara yang justru merusak,” tutup Abdi Shalihin.
Dengan adanya klarifikasi ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami pentingnya mematuhi aturan yang ada dan tidak terprovokasi oleh informasi yang belum tentu sesuai dengan ketentuan hukum. Tutup Abdi. (Red)